• PESANTREN PERSATUAN ISLAM NO. 282 CILEUTIK
  • Mewujudkan Generasi Rabbani yang Tafaqquh Fiddin

DI BALIK UJIAN ADA KEBERKAHAN (MEMETIK HIKMAH DI BALIK PERJALANAN NABI IBRAHIM)

Ujian adalah sebuah keniscayaan bagi seorang mukmin, tidak ada satu waktu dan ruang pun yang kosong dari ujian Allah swt, sebab apa yang terjadi pada diri kita di dunia yang fana ini semuanya ujian hidup yang akan mengantarkan kepada posisi kita kelak di akhirat.

Ujian adalah untuk membuktikan dan mengasah permata keimanan seseorang, sejauh mana keyakinannya akan rububiyah dan uluhiyah Allah swt, bagaimana implementasi akan dua kalimah syahadat yang diimaninya, sejauh mana keteguhannya dalam mempertahankan aqidah tauhid, sehebat apa perwujudan ibadahnya kepada sang Khaliq, seindah apa akhlak dan mu’amalah yang diwujudkannya, semua itu akan tampak jelas ketika menghadapi ujian-ujian yang Allah berikan. Firman Allah swt:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ .وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta (QS. Al-Ankabut:2-3)

Baik dan tidaknya sesuatu dalam pandangan islam tidak diukur dengan penilain secara lahir dan kasat mata, seseorang yang sehat, kaya, dan berpangkat tinggi dikatakan baik dalam islam jika semua kelebihannya itu diolah sehingga menjadi kebaikan dan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Seseorang yang diuji dengan penyakit dan kekurangan harta belum tentu itu sesuatu yang buruk jika dengan semua itu lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Jadi, baik  dan buruknya sesuatu tidak ditimbang dengan neraca duniawi tetapi dengan neraca ukhrawi, sebab baik dan buruk dalam timbangan duniawi bersifat relative dan fana.

Paradigma yang harus dibangun oleh seorang mukmin adalah bahwa ujian yang Allah berikan walaupun itu terasa sulit dan dipandang buruk dalam kacamata lahir adalah bukan untuk menghinakan dan merendahkan hamba-Nya, tetapi sebaliknya untuk meninggikan derajat manusia itu sendiri walaupun mungkin tidak difahami secara langsung oleh nalar dan logika manusia. Itulah sebuah totalitas dalam keiman dan ketaatan kepada Allah swt, walaupun tidak terlogikan oleh nalar dan kecerdasan manusia tetapi jika Allah telah menetapkan sesuatu ia akan berkata 'sami’na wa ato’na' (kami mendengar dan kami ta'at). Jika tidak, maka akan dipertanyakan titel keimanannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada baginya pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS. Al-Ahzab:36)

Nabi Ibrahim adalah di antara sosok yang digambarkan oleh Qur’an akan kesuksesannya dalam menghadapi setiap ujian yang menimpanya, sehingga dijadikan Imam bagi manusia oleh sang khaliq, sebagaimana di dalam firmannya:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata “(dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman “ janji Ku ini tidak mengenai orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah:124)

Ibrahim dan kecintaannya kepada ayah, isri, dan anaknya

Kecintaan seseorang kepada Allah harus melebihi kecintaannya kepada yang lainnya termasuk kepada orang tua dan keluarga sekalipun. Jika tidak, maka belum sampai kepada derajat keimanan yang sempurna dan tidak akan merasakan halawah (manis) nya ada dalam keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka"  (HR. Bukhari)

Kecintaan Ibrahim kepada ayah dan keluarganya dihadapkan pada serangkaian peristiwa yang telah Allah tetapkan untuk menguji dan mengasah permata keimanannya. Ujian demi ujian yang dihadapinya menjadikannya semakin nampak kilauan dan beningnya permata keimanan yang menghunjam kuat di dadanya.

Tugas dakwahnya sebagi nabi di antaranya membersihkan umat dari kemusyrikan sebagai penyembah berhala yang sudah mendarah daging, harus berhadapan dengan ayahnya sendiri yang sangat dicintai dan dihormatinya yang bernama Azar yang sudah dikenal sebagai pembuat dan penjual patung yang dijadikan Tuhan oleh kaumnya. Walaupun kenyataannya seperti itu, Ibrahim tetap istiqamah mengemban tugas suci kenabian tersebut dan tidak berhenti berdakwah walau harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri

“wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuanyang tidak akan datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syetan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang maha pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan yang maha pemurah, sehingga kamu menjadi kawan bagi setan.” (QS. Maryam:42-45)

Dakwah nabi Ibrahim kepada ayahnya tersebut diterima dengan penuh murka dan amarah, ia berkata: “Bencikah kamu kepada Tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (QS. Maryam:46)

Walaupun demikian murka ayahnya kepadanya, ia tetap hormat dan khidmat sebagai seorang anak kepada orang tuanya. Ia membalas ucapan orang tuanya dengan penuh bakti dan kasih sayang, ia berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku kan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.” (QS. Maryam:47-48)

Kecintaan Ibrahim kepada ayahnya tetap tidak bisa dihilangkan begitu saja karena pada jasadnya ada darah orang tuanya yang mengalir, tetapi kecintaannya itu diposisikan dan ditempatkan di bawah kecintaan dirinya kepada Allah swt sehingga sama sekali tidak mengorbankan keimanannya kepada Allah swt. Tetapi keimanan kepada Allah menjadi petunjuk bagi dirinya bagaimana ia harus berbuat dan bertindak

Ibrahim sangat mendambakan kelahiran seorang anak yang akan menjadi fatner jihadnya dan yang akan meneruskan dalam mengemban tugas suci menyampaikan risalah tauhid di bumi persada ini, sehingga ia tidak bosan-bosannya berdo’a dan memohon kepada Allah swt “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS. As-Saffat:100)

Keihlasan dan kesabarannya berbuah manis, Allah mengabulkan permohonannya dengan lahirnya Ismail dari istrinya Hajar, “Maka Kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang amat sabar (penyantun).”  (QS. As-Saffat:101)

Lahirnya Ismail sungguh sesuatu yang teramat sangat menggembirakan bagi Ibrahim, karena kesinambungan amal shaleh dan dakwah tauhid akan tetap terjaga. Namun tidak lama setelah itu datang perintah Allah untuk menempatkan anaknya Ismail di suatu tempat yang mungkin menurut akal dan perasaan tidaklah manusiawi menempatkan bayi yang masih ketergantungan dengan ibunya di tempat yang tandus, tidak ada pepohonan di sekitarnya, tidak ada sumber air juga makanan, dan tidak ada seorang pun tetangga yang bisa membantu dan menemaninya. Sebagai manusia biasa perasaan hajar pun hampir tidak terkendali dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh suaminya, “wahai Ibrahim ke manakah engkau hendak pergi? Tega kah engkau meninggalkan kami di lembah ini yang tidak berpenghuni dan tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan perbekalan hidup?

Tidak ada satu kata pun jawaban yang keluar dari Ibrahim walau pertanyaan itu berulang kali terucap dari istrinya. Karena pertanyaan itu lahir dari perasaan maka sulit untuk dijawab, karena secara perasaan mana mungkin ada seorang ayah yang tega menyimpan anak dan istrinya di tempat seperti itu. Tetapi ketika pertanyaannya lahir dari keimanan, ”apakah Allah yang menyuruhmu berbuat ini?” maka Nabi Ibrahim pun menjawabnya dengan mantap, “na’am/ya”. Karena sudah terkoneksinya keimanan hajar dengan Ibrahim maka sungguh indah kata-kata yang keluar darinya “jika demikian halnya, pasti Allah tidak akan membiarkan kita”. Setelah Ibrahim mendengarkan kata-kata indah yang memancar dari keteguhan imannya, ia pergi meninggalkan mereka dengan berdo’a kepada Allah swt

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Rabb kami! Sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim:37)

Dibalik ujian yang Allah berikan ternyata ada keberkahan yang Allah siapkan. Dari tanah yang tandus keluar air yang sampai sekarang masih bisa dinikmati oleh semua orang di seluruh penjuru negeri, dari tempat yang tidak berpenduduk menjadi daerah yang ramai dikunjungi hingga sekarang, dari tempat yang gersang menjadi daerah yang subur makmur berlimpah rizqi, dan apa yang dilakukan oleh hajar di masa-masa sulit diabadikan menjadi ritual ibadah haji seperti sa’I (berjalan dari bukit shafa ke bukit marwah tujuh kali putaran) di antaranya. Sa’I adalah menggambarkan usaha hajar secara maksimal untuk mendapatkan rahmat Allah berupa rizki atau bahan pokok kehidupan dari Allah swt. Sungguh di dalam totalitas ketaatan ada keberkahan yang sebelumnya tidak terjangkau oleh akal dan kecerdasan manusia.

Ketika Ismail telah beranjak dewasa dan mulai tampak bantuan dan pertolongannya bagi Ibrahim, Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku bermimpi, aku menyembelihmu. Bagaimana menurutmu tentang mimpi ini? Maka Ismail menjawabnya dengan jawaban yang menyejukkan hati, “laksanakanlah apa yang engkau lihat dan kerjakan ketaatan yang diperintah kepadamu, in sya Allah engkau akan mendapatiku sebagai anak yang sabar, ta’aat, dan ridha.”

Perasaan mana yang dapat merestui perbuatan tersebut dan logika mana yang dapat memahami tindakan tersebut, tetapi Ibrahim dan Ismail menghadapi persoalan tersebut dengan keimanan bukan dengan rasa dan logika. Maka ketika keduanya berserah diri kepada perintah Allah dan tunduk kepada-Nya, Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya ke tanah agar tidak dilihat olehnya saat akan disembelih sehingga perasaan dan logikanya tidak menghalanginya dari ketaatan kepada Allah swt. Ketika pisaunya telah diayunkan untuk menyembelih anaknya, Allah memanggilnya dari arah bukit, “Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu sebagai perintah yang wajib engkau laksanakan. Kami akan tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Allah menurunkan kambing yang besar kemudian disembelih oleh Ibrahim sebagai ganti dari penyembelihan anaknya Ismail.

Sungguh, di puncak kesulitan dan ketaatan kepada Allah, Ia akan memberikan solusi dan jalan terbaik seandainya kecintaan dan ketaatan kepada-Nya diposisikan di tempat tertinggi di dalam kehidupannya, sebagaimana yang Allah janjikan:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا.وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya (QS. At-Tahrim: 2-3)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. At-Tahrim:4)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya (QS. At-Tahrim:5)

Semoga kita dapat memetik hikmah di balik perjalanan Nabi Ibrahim bersama keluarganya. Amien!

Ditulis Oleh : DW. Ashidiq

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
TADABBUR QUR'AN (QS. AL-BAQARAH :183)

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَام كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَ�

23/03/2023 14:09 - Oleh Administrator - Dilihat 146 kali
Apa yang Telah Kita Persiapkan?

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُ�

03/10/2022 15:23 - Oleh Administrator - Dilihat 335 kali
Harta Kita Kah ?

Manusia adalah mahluk lemah dan hina yang Allah ciptakan dari setetes air mani yang terpanacar, lalu Allah sempurnakan penciptaannya melebihi mahluk-mahluk yang lainnya, sebagaiman yang

03/10/2022 15:23 - Oleh Administrator - Dilihat 147 kali
KITAKAH WALIYYULLAH ITU ?

AL-Wali bentuk jamaknya adalah AL-Auliya yang berarti dekat, mengerjakan sesuatu, menolong, dan mencintai. Lafadz wali dalam Al-Qur'an kadang bermakna isim fa'il (subjek) yang diartikan

03/10/2022 15:23 - Oleh Administrator - Dilihat 102 kali
KEDUDUKAN DAN TUGAS MANUSIA

Manusia bukanlah mahluk yang diciptakan Allah dari emas, perak, intan, permata, atau pun mutiara, melainkan dari setetes air yang hina, ia  sendiri merasa jijik hanya sekedar untuk

03/10/2022 15:23 - Oleh Administrator - Dilihat 99 kali