
PETA IEDUL ADHA
Sebagaimana telah kebanyakan orang mafhum bahwa dalam Islam terdapat syari’at-syari’at yang harus dilaksanakan oleh Muslim. Baik yang berupa kewajiban yang mutlak maupun kewajiban yang tidak mutlak. Kita akan mengetahui syari’at-syari’at termaksud tentu saja dari dalil-dalil yang ada, yang termaktub dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, sebab kita juga sama-sama mafhum bahwa dua hal tersebutlah yang merupakan sumber hukum yang mutlak dalam Islam. Sehingga, ketika kita menyoal syari’at, tentu saja sumber kebenaran yang kita rujuk adalah Al Qur’an dan Al Hadits. Salah satu syari’at yang melekat dan tetap dilaksanakan dari sejak Nabi pertama hingga kini adalah ber-qurban. Dan pelaksanaan qurban yang kita kenal hingga saat ini adalah yang sebagaimana dilaksanakan dari sejak Nabi Ibrohim ‘alaihi salam.
Dalam sejumput tulisan ini akan sedikit dipaparkan mengenai beberapa hal yang terkait dengan syari’at, tentu saja syari’at yang, insyaallah, akan segera kita jelang, yaitu ‘idul ad-ha atau ‘idul qurban. Supaya tidak terlalu berlarut-larut dan tulisan ini, pun tidak terlalu menjemukan dengan terlalu banyaknya kata yang keterlaluan sehingga mengakibatkan terlalu berbelit-belitnya pula pembahasan, kita coba untuk mengalurkan saja tulisan ini.
Tulisan ini terbagi atas tiga bagian: bagian pertama, akan ada pembahasan mengenai hal-hal yang erat kaitannya dengan ‘idul qurban; kemudian bagian kedua, sedikit pembahasan mengenai (derajat) hukum secara fiqih; dan ketiga, adalah hal-hal yang terkait dengan hikmah-hikmah yang kita dapatkan setelah pelaksanaan qurban termaksud.
/1/
Keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Abdulloh ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut: "Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Alloh?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Tidak pula jihad di jalan Alloh, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Muslim)
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2).
Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah. Dari makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Romadhon, sepuluh hari pertama bulan Romadhon dan sepuluh hari pertama bulan Muharrom. Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).”
/2/
Mengenai hukum ber-qurban itu sendiri, paling tidak ada dua pendapat para ulama, yang pada dasarnya kedua pendapat itu tidak bertentangan melainkan saling melengkapi. Mari kita tengok:
Pendapat pertama, diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya. Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
Ayat ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya. “Siapa saja yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah)
Pendapat kedua: Sunnah dan Tidak Wajib
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi: “Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri. Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan. Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib (Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro). Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka.
Dari hadits yang dicantumkan di atas pun kita dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan pelaksanaan qurban itu sendiri, misal: mengenai hal yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang ber-qurban. Al Iman Al Bukhari meriwayatkan satu sabda beliau, yaitu dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha: “Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” Dalam lafazh lainnya, “Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”
Maka hadits ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah).
/3/
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya Kaum Muslimin. Hari Arofah, hari Idul Ad-ha dan hari Tasyriq termasuk hari ‘id kaum muslimin. Disebutkan dalam hadits, “Hari Arofah, hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq adalah ‘ied kami—kaum muslimin. Hari tersebut (Idul Adha dan hari Tasyriq) adalah hari menyantap makan dan minum.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i)
Mengenai keutamaan hari Idul Adha dan hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud, “Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qorr (hari tasyriq).” Hari tasyriq disebut yaumul qorr karena pada saat itu orang yang berhaji berdiam di Mina. Hari tasyriq yang terbaik adalah hari tasyriq yang pertama, kemudian yang berikutnya dan berikutnya lagi.
Maka, Hari Idul Adha dan Hari Tasyriq adalah hari bersenang-senang untuk menyantap makanan. Demikianlah Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam mengatakan bahwa Idul Adha dan hari tasyriq adalah hari kaum muslimin untuk menikmati makanan. Beliau bersabda, “Hari-hari tasyriq adalah hari menikmati makanan dan minuman.” (HR.Muslim)
Alloh Ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Kemudian, mengenai hewan qurban (sembelihannya) itu sendiri, beliau sholallohu ‘alaihi wa sallam telah memberikan rincian alokasi pemanfaatan hewan kurban tersebut, yaitu :
- Memakannya,
- Mensedekahkannya, dan
- Menyimpannya.
Tidak ada sama sekali pembolehan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam untuk menjualnya. Jikalau boleh, niscaya beliau akan menyebutkannya.
Maka demikianlah sejumput tulisan yang meski tak menyentuh rinci ini, mudah-mudahan bisa menambah wawasan kita, dan segalanya kita kembalikan hanya padanya: wallohu’alam bishshowab. Billahi taufiq wal hidayah, selamat ber-qurban.
Penulis : Acep Usman Arifin
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
KITA ADALAH MUJAHID
Ungkapan “Kita adalah Mujahid” bukanlah ungkapan yang lahir dari kesombongan, tapi lahir dari komitmen kita sebagai seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk senantiasa
KITA ADALAH MUJAHID
Ungkapan “Kita adalah Mujahid” bukanlah ungkapan yang lahir dari kesombongan, tapi lahir dari komitmen kita sebagai seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk senantiasa
PALESTINA UJIAN BAGI UMAT ISLAM
Ujian adalah sebuah keniscayaan bagi seorang mukmin, tidak ada satu waktu dan ruang pun yang kosong dari ujian Allah swt, sebab apa yang terjadi pada diri kita di dunia yang fana ini se
PERADABAN PESANTREN
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذ